Kini Tsaqofah Edisi 37 akan Beredar diseluruh toko toko Indonesia yang ada di Riyadh, atas partisipasinya dalam berlangganan kami tak lupa haturkan ribuan terima kasih

Peduli Pada TKW NBNd

                                                      
 Oleh :  Ibda El-Chosal

Beberapa tahun silam, kalau tidak salah, Pemerintah pernah menerapkan aturan bahwa untuk menjadi TKI ke luar negeri, termasuk menjadi PLTR (Penata Laksana Rumah Tangga) salah satu syaratnya minimal harus lulusan SLTP. Setelah ada bebarapa pihak yang keberatan, akhirnya aturan tersebut dihapus, dengan alasan, setiap warga negara (termasuk yang tidak tamat SD sekalipun) berhak mendapatkan pekerjaan, seseuai amanat UUD 45. Alasan yang lain, katanya, pekerjaan sebagai PLTR tidak mesti harus pandai mambaca dan menulis. Disamping itu, tentunya, tak lain karena masih banyaknya pengangguran usia produktif di Indonesia.

Terkait dengan profesi PLTR (sebutan resmi untuk TKW kita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan selanjutnya saya sebut dengan TKW), kita sama-sama tahu, lulusan SLTP belum tentu lebih baik dalam bekerja. Faktanya, banyak juga TKW yang sekalipun tidak tamat SD, kerjanya lebih baik dan lebih gesit dari yang lulusan SLTP. Tapi dari segi mentalitas, ketrampilan membaca-menulis, dan daya tangkap memahami sebuah perintah, lulusan SLTP, secara umum, jelas lebih baik.


Data yang saya terima dari BNP2TKI (lihat Tsaqofah edisi 36), TKI kita yang diterbangkan ke luar negeri ternyata banyak yang pendidikannya malah tidak tamat SD. Bahkan prosentasenya cukup tinggi, sampai 85%. Ini artinya, pemerintah terkesan membiarkan para TKI bergulat degan masalahnya sendiri saat berada di luar negeri. Kenapa? Karena, disamping TKI berpendidikan rendah rentan terhadap masalah, juga biasaya cukup menyusahkan pihak-pihak yang akan mengurusnya, bila di kemudian hari TKI ini tadi bermasalah. Kadang, diajak komunikasi saja mbulet, sekalipun menggunakan bahasa Indonesia.


Seperti yang saya singgung di atas, untuk menangani pekerjaan rumah tangga, kwalitas lulusan SLTP dan SD memang tidak jauh berbeda. Tapi perlu diingat, bekerja di luar negeri --sekalipun menjadi pembantu rumah tangga-- tidak cukup hanya bermodal bisa kerja. Faktor yang tidak kalah penting adalah masalah mental dan daya tangkap. Bagi Anda yang jarang bersentuhan dengan dunia TKI, mungkin jarang merasakan, betapa rentannya menjadi TKW di Saudi, apalagi bagi TKW yang --maaf-- bertitel NBNd (Non, Bodoh, dan Ndeso). Tapi bagi kita yang sehari-hari bekerja mengurusi masalah TKI bermasalah (seperti bekerja di kantor perwakilan atau di bagian ketenagakarjaan KBRI/ KJRI) tentu merasakan betul bagaimana susahnya mengurus TKW yang bertitel NBNd tadi.


Maaf , bukan saya bermaksud merendahkan mereka dengan memberi gelar NBNd. Sebab kehadiran mereka ke luar negeri, sebenarnya bukan kesalahan mereka semata. Bahkan mereka sampai memiliki gelar NBNd pun, sungguh sejatinya bukan keinginan mereka. Kita mesti kasihan pada mereka. Secara umum, mereka hanya menjadi korban dari kelemahan kedua orang tuanya –yang tidak mampu menyekolahkan mereka dengan baik.Mereka telah menjadi korban dari sistem pendidikan kita yang cenderung kapitalistik dan kurang berempati pada kaum lemah. Walaupun saat ini sekolah tingkat dasar dan menengah digratiskan, faktanya, masih banyak bayaran sekolah yang harus ditanggung wali murid. Jadi mereka bertitel NBNd sebenarnya bukanlah kehendak mereka. Itu mungkin sudah “suratan takdir”.


Lalu, apa salahnya dengan gerlar NBNd? Benar, tidak salah kita ke Saudi berstatus non, saya juga tidak menyalahkan kalau mereka kebetulan orang bodoh. Itu sudah dari sononya. Saya pun sadar betul mentalitas ndeso tak bisa lepas begitu saja dari orang-orang seperti kita yang nota bene rata-rata dari kampung. Tapi yang saya inginkan adalah kalau kita terlanjur menjadi TKW NBNd, mboknya segera sadar bahwa pilihan kita menjadi TKW ke luar negeri (apalagi ke negeri “panas” seperti Arab Saudi ini) adalah pilihan kurang tetap, bahkan salah kaprah, plus terlalu nekat. Terlebih lagi, dari mulai calo, PT yang memproses dan menerbangkan, sampai kantor perwakilan yang menjadi agency kita di luar negeri, rata-rata hanya berorientasi bisnis semata dan kurang peduli dengan perlindungan. Ditambah lagi, kalau kita boleh jujur, pemerintah kita terkesan setengah hati mengurusi dunia TKI. Contohnya, pengawasan terhadap PPTKIS (sebutan baru untuk PJTKI) yang nakal masih sangat lemah. Perlindungan TKI di luar negeri pun masih jauh dari harapan.


Maaf, mungkin banyak TKI yang mengeluh dengan kinerja KBRI kita (khususnya bidang ketenagakerjaan), karena mereka dianggap kurang responsif terhadap permasalah TKI. Minimal, itu yang saya tangkap dari keluhan teman-teman TKI yang disampaikan lewat Tsaqofah. Tapi KBRI pun jelas punya asalan. Paling tidak, yang saya tahu, keterbatasan pegawai dan anggaran yang dimiliki KBRI adalah alasan klasik yang sering saya dengar. Dan mereka--maaf-- terkesan hanya jadi perpanjangan tangan pihak Jakarta. Bahkan lebih miris lagi, KBRI (khususnya bidang ketenagakerjaan) terkesan hanya jadi tempat “cuci piring” dari kebijakan pusat yang “rakus devisa”.


Fakta yang tidak bisa dibantah adalah, jumlah pegawai yang mengurusi bidang ketenagakerjaan di KBRI kita amat sangat tidak sebanding dengan jumlah TKI bermasalah yang harus segera diurus. Terlebih lagi, tak sedikit TKI bermasalah yang ditangani KBRI adalah TKI bergelar NBNd, kadang manja, sok pinter, dan inginnya cepat dilayani. Padahal kasus yang menimpa mereka, tak sedikit yang justru disebabkan karena kesalahan mereka sendiri, yaitu terlalu nekat menjadi TKI ke luar negeri tanpa dibarengi kesiapan yang memadai dalam segala hal. Terlebih lagi, sekalipun kultur masyarakat Saudi cukup menghormati keberadaan kaum wanita, tapi tak sedikit dari warganya yang ternyata masih bermental ala Abu Jahal, khususnya terhadap para pembantunya.


Kembali ke persoalan TKW NBNd. Walau banyak pembaca yang mungkin protes dengan tulisan-tulisan saya --karena mungkin terkesan sering merendahkan derajat TKW, apalagi sekarang diberi gelar baru-- saya tetap harus menyampaikan fakta yang ada, apa yang sebenarnya terjadi di dunai TKI kita. Bahkan menurut saya, kalau boleh membela diri, justru ini sebagai tanda empati dan perhatian saya terhadap mereka, khususnya yang bergelar NBNd. Maksud saya, kalau kebetulan saat ini kita meresa at home (betah) manjadi TKI (apakah karena dipaksakan betah atau memang bener-benar betah), mohon untuk tidak “mengkampanyekan” kebetahan kita kepada teman dan sanak saudara kita yang masih ada di Bumi Pertiwi. Sebab nasib baik yang kebetulan kita terima selama menjadi TKI, belum tentu akan mereka dapatkan.


Yang bagus malah sebaliknya, mari mulai sekarang kita kampenyekan kepada para gadis dan ibu-ibu muda di Indonesia bahwa menjadi TKI di luar negeri ternyata tak seindah seperti yang dipromosikan para calo TKI yang sering keluyuran di kampung-kampung. Mari kita gencarkan kampanye 'STOP pengiriman TKW tanpa mahram'dengan cara kita masing-masing. Tak perlu menunggu kesadaran Pemerintah. Jadi, biarlah suaminya yang mencari nafkah, sekalipun harus ke luar negeri. Sebab itu kewajiban mereka sebagai kepala rumah tangga. Ingat! Perempuan bekerja di luar negeri --apalagi tanpa disertai mahram, tanpa dibekali ketrampilan kerja dan bahasa, tanpa kesiapan mental dan informasi yang memadai-- jelas amat sangat beresiko. Yang ex dan sedikit cerdas saja masih penuh resiko, apatahlagi yang NBNd.


Kalaupun mereka (kaum perempuan) harus keluar negeri menjadi TKI, paling tidak, disamping harus disertai mahram (suami atau kerabat) dan bekerja dalam satu majikan, juga harus dipersiapkan segala sesuatunya secara maksimal, antara lain:

1. Persiapan mental yang kuat (terutama siap diperlakukan sebagai “babu”, seperti diomeli, dibentak-bentak, difitnah dan sejenisnya). Jadi bagi yang tidak siap direndahkan majikan, tidak berjiwa sabar, tidak lapang dada, cepat tersingggungan, “anak mama”, dan penakut, sebaiknya jangan nekat jadi TKW. Nanti kalau kebetulan dapat majikan yang tidak pengertian, kata Mas karmin, “Urusane bisa ruwed ngampred”.

2. Sebelum memutuskan jadi TKW, bertanyalah dulu pada mantan TKW yang gagal, yang pernah berkasus, tidak digaji, disiksa, digoda atau dilecehkan kehormatannya, dan sejenisnya. Tujuannya, agar kita sudah punya kesiapan mental yang prima. Jangan dulu bercermin pada TKW yang sukses. Sebab kesuksesan mereka tidak gratis. Mereka harus membayarnya dengan keringat basah, air mata kesedihan, kerinduan yang mendalam, bahkan dengan jeritan hati yang amat memilukan. Kecuali mereka mendapat majikan baik dan mau memanusiawikan pembantunya.

3. Daftarlah pada PT yang bonafid. Jangan mau dibodohi calo. Kalaupun harus menggunakan jasa calo, carilah calo yang baik dan amanah, bukan calo mata duitan.

4. Kenali dengan baik kultur dan budaya negera tujuan kerja. Dan yang tak kalah penting, harus dimengerti bahwa mayoritas watak orang Saudi itu keras dan madamnya rata-rata cerewet.

5. Bekali diri dengan ketrampilan kerja (sesuai profesinya) dan kuasai bahasa negera tujuan kerja (bahasa Arab), minimal bahasa percakapan tingkat dasar.

6. Catat semua informasi dan data penting, seperti nama majikan beserta no telephonnya, nama kantor perwakilan di luar negeri beserta no telphonnya, no telp/HP dan no rekening keluarga, no telp KBRI/KJRI, dan data penting lainnya. Dan ingat! Sebelum terbang, mintalah surat Perjanjian Kerja (PK) dan kasihlah copy PK tersebut pada keluarga kita.


Petunjuk tadi sebaiknya diperhatikan betul oleh semua calon TKI, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang ex maupun yang non. Sebab kita tak pernah tahu bagaimana nasib kita setelah bekerja di luar negeri. Walau demikian, petunjuk tadi bukanlah jaminan bahwa kita pasti aman dari masalah --selama menjadi TKI. Tapi paling tidak, itu akan sangat berarti jika kelak kita menghadapi masalah.


Lalu, bagaimana kalau kita sudah terlanjur menjadi TKW di sini? Selama kondisi kita baik-baik saja dan kebetulan dapat majikan baik, tentu tak jadi masalah. Namun, selama kontrak belum selesai, kita tetap harus waspada dengan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Memenuhi beberapa petunjuk di atas, jauh lebih baik. Paling tidak, untuk antisipasi. Terutama bagi kita yang kebetulan berstatus TKW NBNd.


Perlu juga diperhatikan. Terkait dengan TKW NBNd, kalau kebetulan mereka bisa lolos seleksi dan sampai bisa datang ke sini, sesungguhnya itu bukan kesalahan mereka. Ini kesalahan pemerintah dan PPTKIS selanjutnya saya sebut PT) yang menerbangkan mereka. Kenapa mereka bisa lolos diterbangkan? Seharusnya, sebelum diterbangkan, TKW harus betul-betul dicek dulu kesiapannya dan Pemerintah pun harus ikut terlibat cek & ricek. Layakkah mereka diterbangkan ke luar negeri, terlebih lagi ke negera Arab Saudi yang budayanya tertutup dan rata-rata warganya berwatak keras plus cerewet ini? Logikanya, mengekspor barang yang tidak bernyawa saja prosedurnya begitu ketat dan kontrolnya sangat maksimal, eee…, “mengekspor” TKW malah persiapannya ko' asal-asalan. Padahal kita tahu, sekalipun mereka berasal dari kampung dan mayoritas miskin dan bodoh, tapi mereka masih puya nilai di hadapan Sang Pencipta dan masih layak mendapat penghormatan diri sebagai manusia seutuhnya. Bahasa kerennya, mereka juga punya HAM, lho?


Artinya, kalau mereka memang tidak layak dan belum siap pakai untuk dipekerjakan sebagai buruh migran --apalagi bekerja di sektor informal payung hukumnya masih lemah, mbo ya lebih baik tidak diterbangkan. Dan pemerintah pun hendaknya ikut mengawasinya dengan ketat dan anti sogok. Tindak tegas PT-PT yang nakal dan sembrono! Ini terkait dengan manusia lho? Sekalipun dia ndeso, tapi “harga” mereka di hadapan keluarganya jauh lebih mahal dari harga motor, bahkan mobil yang diekspor sekalipun.


Saya salut, baru-baru ini ada sekitar 22 PT yang ditutup oleh Pemerintah, lantaran telah melanggar aturan. Walau sebenarnya masih banyak PT nakal dan sembrono yang masih beroperasi, tapi paling tidak, tindakan penutupan tadi dapat dijadikan efek jera bagi para pegiat usaha di bidang per-TKI-an. Semoga saja ini bukan sekedar gerakan hangat-hangat tahi ayam dari pihak Menakertrans yang dijabat oleh Muhaimin Iskandar. Saya sedikit tahu karakter cak Imin (demikian ia sering disapa). Pribadinya memang terlihat tenang, tapi ia tegas dan keras, serta cukup peduli dengan nasib wong cilik. Paling tidak, itu yang saya tangkap sewaktu beliau masih jadi senior saya di PMII Yogya tahun 90-an. Ya, semoga saja watak positif itu masih melekat setelah menjadi Menakertrans. Kalau ternyata sebaliknya, ya semoga Allah menyadarkannya kembali.



Untuk PT- PT di Jakarta yang mengurusi TKW, semestinya mereka jangan hanya mengejar target bisnis semata. Pemerintah pun seyogyanya tidak hanya melihat sektor pengiriman TKI ke luar negeri ini dari aspek ekonomi (devisa) belaka, melainkan harus juga dilihat dari sudut pandang harga diri bangsa dan aspek sosial masyarakat.



Terkait dengan harga diri, ada beberapa TKW yang pernah menghubungi saya via HP bahwa selama di penampungan illegal, dia dan teman-temannya sering mendapat perlakukan sangat kurang manusiawi dari pegawai kantor, mulai dari kata-kata kasar, pemukulan, sampai pelecehan seksual. Terutama terhadap TKW yang sering gagal saat dicoba bekerja di calon majikan baru. Penampungan illegal yang dimaksud antara lain berupa maktab istiqdam atau maktab khadamatul 'am yang --walaupun sudah dilarang pemerintah Saudi-- masih tetap nekat menampung TKW, baik untuk kepentingan pindah majikan atau disewakan. Kantor sejenis ini di Riyadh ditengarai jumlahnya cukup banyak. Bahkan, ada dari penelpon yang mengatakan dengan lugas bahwa dia dan hampir semua teman-temannya di penampungan, pernah diajak kelon oleh bos dan pegawai kantor tersebut. Katanya, sulit bagi mereka untuk menolak. Mereka tak bisa berbuat banyak kecuali pasrah. Menurutnya, orang-orang di kantornya menganggap bahwa perempuan Indonesia yang berani jadi TKW tanpa mahram diangap bukanlah perempuan baik-baik dan nilainya tak beda jauh dengan sarmuthoh (palacur).


Kenapa mereka hanya pasrah dan tak berdaya? Tentu karena nyali mereka ciut untuk berontak. Mental mereka belum siap untuk menabrak dinding tebal yang diciptakan oleh para begundal negeri kelahiran Abu Lahab ini? Ya, karena raat-rata mental mereka mental NBNd, bukan mental TKW cerdas. Kalaupun ada yang sedikit berani dan bernyali, langsung mentalnya dilumpuhkan dengan berbagai cara. Begitulah nasib malang yang menimpa saudara-saudara kita.


Percayalah, mereka hanya segelintir dari sekian ribu TKW di Saudi yang bermasalah. Di luar itu, masih ada ribuan TKW yang kabur dari rumah majikan. Sebagian diamankan di markaz su'unul khadimat dan penampungan KBRI/KJRI (dengan nasib yang tidak jelas kapan bisa dipulangkan). Tapi tak sedikit yang kabur ke tempat-tempat illegal. Jumlahnya tiap tahun tak pernah surut, malah cenderung bertambah, sekalipun pemerintah Saudi sudah menerapkan aturan black list kepada TKW kaburan yang dideportasi.


Itu belum termasuk TKW yang saat ini masih mendekam di rumah majikan dengan segala kepiluan dan kegetiran hidup; Ada yang tiap hari dicereweti; Ada yang sulit minta gaji; Ada yang habis kontrak tapi tak pernah diizinkan pulang; Dan tak sedikit yang terancam kehormatannya. Tapi mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan saat ditanya orang kantor pun, banyak dari mereka yang takut untuk mengatakan yang sebenarnya terjadi.


Sebut saja namanya Mumun. Akhir Februari kemarin, kami dapat laporan dari keluarganya di Indonesia bahwa Mumun sedang mengalami masalah, seperti pernah dipukul, sulit minta gaji, dan sejenisnya. Lalu kami coba telpon majikannya dan langsung kami tanyakan pada Mumun apakah benar pengaduan tadi? Dia hanya diam. Sampai lima kali saya tanyakan (dengan berbagai cara sambil berusaha menyakinkan bahwa kantor akan bertanggung jawab), tetap saja tak ada jawaban memuasakan dari Mumun. Dia cuma berani mengatakan, “Pak saya takut bicara”.


Itulah tipikel salah satu TKW NBNd. Begitulah contoh mentalitas sebagian TKW kita yang benar-benar merasa inferior di hadapan majikan. Kalau mental TKW-nya sudah seperti itu, sekalipun pegawai bagian ketenagakerjaan KBRI/KJRI ditambah 3 kali lipatnya, tetap saja tidak menyelasikan masalah.


Mental seperti itu menurut saya, disamping proses seleksi di Jakarta yang tidak maksimal (bahkan asal-asalan), juga akibat dari rendahnya pendidikan TKW-TKW kita. Kalau mereka sedikit terpelajar, mungkin ceritanya akan lain.

Saking gemesnya dengan sikap PT-PT di Jakarta yang tidak selektif dan terkesan asal-asal menerbangkan TKW, salah satu mantan atnaker kita pernah menyentil dalam suatu forum bahwa para TKW yang diterbangkan ke Arab Saudi itu, ibarat minyak, yang dikirim adalah residunya atau dalam bahasa Jawanya res-res. Itulah mungkin ungkapan yang pas untuk menggambrakan betapa rendahnya kwalitas TKW-TKW kita yang dipekerjakan di Arab Saudi. Tentu tidak semua TKW demikian, pasti ada bebrapa TKW yang berkwalitas lumayan baik. Sementara TKW-TKW yang sedikit berkwalitas, enggan untuk bekerja ke negeri Petro Dolar ini. Mereka lebih memilih Hongkong, Taiwan, Singapura, atau Malaysia.Kalupun ke kawasan Timur Tengah, mereka lebih suka bekerja di Negera Teluk yang lain, seperti Abu Dhabi dan Qatar.


Ya, begitulah realitas yang ada di dunia TKI kita. Tapi yang harus kita jadikan catatan penting di sini adalah bahwa pendidikan sangatlah penting bagi calon TKI, apapun profesinya. Dengan bekal pendidikan, TKI jelas akan lebih percaya diri, lebih cerdas, dan lebih dewasa. Mereka akan mudah menyelesaikan dirinya sendiri bila kelak menghadapi masalah.

Bagi calon TKI yang mentalnya lemah, apalagi pendidikannya hanya lulus SD, sebaiknya berpikir seribu kali untuk menjadi TKI, demi meminimalisir masalah. Mencari keja (berwiraswasta) di negeri sendiri jauh lebih maslahat. Kalaupun terpaksa harus menjadi TKI, persiapkan segala sesuatunya dengan matang.


Untuk itu, gerakan stop pengiriman TKW tanpa mahram harus kita dukung demi kebaikan bersama. Saya juga salut dengan gebrakan pemda Jawa Timur yang sudah bertekad kuat, mulai tahun 2012 nanti tidak akan mengirimkan TKW ke luar negeri, kecuali untuk tenaga terampil. Demikian yang diberitakan media baru-baru ini. Semoga langkah berani pak Gubernur dan jajarannya juga diikuti oleh propinsi-propinsi lain di Indonesia, agar suatu hari kelak kita tidak lagi dikenal sebagai bangsa babu.


Jadi, untuk para calon TKW, selama ia masih punya suami yang bisa bekerja, mengabdi pada suami dan menagsuh anak-anak, jauh lebih mulia dan terhormat, sekalipun hidupnya sederhana. Kalaupun terpaksa harus menjadi TKW, pergilah dengan suami atau mahramnya dan kerja dalam satu majikan. Dan untuk yang masih gadis, membekali diri dengan ilmu dan ketrampilan –sambil menanti datangnya jodoh, jauh lebih baik daripada harus “mengejar masa depan” degan menjadi TKW.


Bagaimana dengan para janda yang kebetulan punya anak, sementara suaminya menikah lagi dan tidak bertangung jawab terhadap nafkah anaknya? Menurut hematku, karena tanggung jawab menafkahi anak bukan tanggung jawab seorang ibu maka anak tersebut harus dikembalikan kepada ayahnya atau kepada kerabat ayahnya. Seorang ibu janda sama sekali tidak terkena dosa bila tidak mampu menafkahi anak-anaknya. Jangan karena berlindung pada alasan nafkah, kehormatan seorang ibu harus “tergadaikan” dengan menjadi TKW ke luar negeri. Boleh menjadi TKW (terlepas dari fatwa MUI yang mengharamkan TKW tanpa mahram), bila kondisinya sudah amat sangat darurat. Dan tentu harus dibekali dengan mental dan persiapan yang prima.


Nah, kita yang kebetulan sudah menjadi TKI di sini, mari kita kampayekan poin-poin di atas kepada teman dan sanak keluarga kita di Indonesia. Kemudian tugas kita di sini, bekerjalah dengan baik dan amanah sampai selesai kontrak. Jaga diri dengan baik dan jangan sampai terjebak pada perbuatan yang membahayakan diri kita. Isilah waktu senggang dengan banyaklah belajar, seperti membaca buku dan majalah islami, mengaji dan sejenisnya. Lebih bagus lagi kalau kita bisa ikut kuliah entensif (gratis) yang diselenggarakan beberapa maktab Jaliyat. Atau ikut belajar kejar paket A, B, atau C bagi yang belum tamat sekolah formal tingkat dasar dan menengah. Atau ikut kuliah UT bagi yang ingin kuliah. Semua bisa kita ikuti sambil tetap bekerja untuk majikan kita.


Bagi Anda yang bersatus TKW sendirian (tanpa mahram), habis kontrak, segeralah minta pulang (exit) dan tak perlu memperpanjang kontrak atau cuti. Itu jauh lebih maslahat buat Anda. Tapi untuk yang suami istri atau TKI laki-laki, tak masalah menambah kontrak atau cuti, selama majikannya baik.

Bagi Anda (khususnya para TKW) yang kebetulan sedang mengalami masalah besar dengan majikan dan tidak bisa diselesaikan sendiri, silahkan lapor ke kantor agency Anda atau ke KBRI. Jangan dulu kabur! Sebab resikonya cukup besar. Kalau --karena berbagai alasan-- tidak bisa melapor, mintalah baik-baik pada majikan agar bisa bicara atau datang ke kantor perwakilan. Kalau tidak digubris, mintalah sampai 3 kali dalam waktu seminggu. Jika tetap tidak dihiraukan, lakukan mogok kerja total. Sekali lagi : TOTAL ! Dengan harapan, majikan akhirnya mau membawa Anda ke maktab istiqdam. Jangan takut untuk melakukan sesuatu yang Anda yakini kebenarannya. Jangan gampang pasrah, apalagi dengan cara kabur. Yakinlah! Allah akan menolong hamba-Nya yang terzhalimi. Wallahu a’lam

Comments :

0 komentar to “Peduli Pada TKW NBNd”

Posting Komentar

Majalah Islam Tsaqofah

 

Copyright © 2009 by Majalah Islam Tsaqofah