Kini Tsaqofah Edisi 37 akan Beredar diseluruh toko toko Indonesia yang ada di Riyadh, atas partisipasinya dalam berlangganan kami tak lupa haturkan ribuan terima kasih

Jadi TKI Demi Kehidupan Yang Lebih Baik

                 Oleh : Hendrar Pramudyo

Riyadh, Minggu 20 September 2009. Hari itu adalah tepat hari raya Idhul Fitri 1 Syawal 1430 Hijriah. Sekitar 5.000 warga Indonesia, umumnya tenaga kerja informal berasal dari Indonesia memenuhi halaman kantor Kedutaan Besar RI di Riyadh.
Mereka datang dari sekitar kota Riyadh untuk sholat Ied dan sekedar merayakan hari lebaran bertemu dengan rekannya sesama pekerja asal Indonesia sambil bermaaf-maafan. Kebiasaan halal bihalal tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun.. Mereka adalah para pekerja wanita pembantu rumah tangga, sopir, pekerja konstruksi, buruh pabrik, perawat, cleaning service, dan lain-lain yang diijinkan majikannya untuk berlebaran di KBRI. Mereka tidak termasuk yang bernasib malang seperti penghuni penjara maupun penampungan-penampungan yang diadakan dinas sosial setempat dan KBRI Riyadh.
Tidak semua tenaga kerja asal Indonesia bernasib malang, kata seorang kenalan yang lahir di Jeddah dari orang tua warga negara Indonesia. Ia seorang staf lokal Kedutaan Besar RI yang pernah kuliah di Universitas Medinah. Memang demikian. Ratusan ribu warga Indonesia dari strata yang tertinggal secara struktural di pedesaan dan perkotaan telah berubah nasibnya dengan mendapat pekerjaan di Arab Saudi.
Demi kehidupan yang lebih baik bahkan dengan kegigihan yang luar biasa banyak tenaga kerja asal Indonesia yang berani lari dari majikan semula kemudian mendapat majikan baru yang memberi upah dan perlakuan yang lebih baik. Suatu perjuangan yang tidak usah ditiru oleh mereka yang memang tidak memiliki garis tangan mujur.
Untuk mereka yang tidak memiliki daya juang yang tinggi dan keyakinan atas pertolongan Allah swt selama di negara itu sebaiknya tidak usah berangkat mengadu nasib ke Arab Saudi. Perusahaan pengerah tenaga kerja umumnya hanya memberi gambaran yang indah tanpa memberi tahu resiko yang harus dihadapi para tenaga kerja yang akan dikirim ke Arab Saudi. Hukum setempat hanya melindungi tenaga kerja formal. Sementara nasib tenaga kerja informal seperti pembantu rumah tangga atau sopir tergantung dari kebaikan majikan. Tidak semua majikan di negara itu menuruti ajaran Islam dan hadits dalam memperlakukan "budak" dengan baik.
Liburan hari Raya Idhul Fitri kedua tahun 2009 saya habiskan waktu berziarah ke makam Nabi Muhammad saw di Medinah. Di mesjid Nabawi Medinah dimana terletak makan Rasulullah banyak dijumpai tenaga kerja asal Indonesia termasuk wanita yang jumlahnya sekitar 700 orang. Mereka menjadi bagian dari 2000 petugas cleaning service yang membersihkan lantai mesjid hingga halamannya yang luas. Saya memperoleh upah sebulan SAR 529 padahal sebelumnya dijanjikan perusahaan pengirim akan memperoleh SAR 800, kata pak Lutfi asal Jawa Tengah. Namun ia mengaku kadang memperoleh tip dari peziarah. Tentu saja tidak semuanya mendapat rejeki nomplok seperti itu. Mereka tinggal di pemondokan yang disediakan agen setempat satu kamar untuk 6 sampai 8 orang.
Kalau kebetulan anda ke airport Riyadh pada malam hari maka kita akan menyaksikan sekitar seratusan tenaga kerja wanita asal Indonesia duduk bergerombol di lantai Bandar Udara Internasional King Khalid di counter keberangkatan pesawat menuju Jakarta. Beberapa berwajah ayu dan ganjen. Ada juga yang bergaya sudah tidak mengenakan abaya untuk pulang ke Indonesia. Mereka itu merasa cukup berpakaian kebaya panjang berkerudung dengan warna terang. Mengapa harus pakai abaya, pak. Saya khan mau pulang ke Indon, katanya kepada penulis. Hampir semuanya tidak memperlihatkan rasa sedih, kecuali satu dua yang nampak murung. Pemandangan seperti itu hampir berlangsung setiap hari di Bandara Internasional tersebut. Mereka ada yang mau pulang ke desa untuk selamanya atau sekedar cuti satu atau dua bulan lalu kembali ke majikan semula. Ada juga yang tidak puas dengan majikan sebelumnya dan ingin berangkat lagi melalui perusahaan pengerah tenaga kerja yang sama. Mencari majikan yang baru yang belum tentu baik hati.
Yati (nama samaran). Ia adalah seorang tenaga kerja wanita asal Nusa Tenggara Barat yang sudah 5 tahun mengabdi kepada majikannya seorang Arab Saudi yang kebetulan baik. Ia diantar oleh majikannya ke airport dari sebuah kota kecil yang jaraknya 600 kilometer dari Riyadh dengan tiket penerbangan langsung menuju Jakarta. Lain halnya Lastri (nama samaran) tenaga kerja asal Banyumas. Ia diantar majikannya sampai counter keberangkatan Garuda di Bandara Internasional Riyadh. Sang majikan baru pulang meninggalkan airport setelah Lastri masuk pintu pesawat malam itu. Majikan berpesan agar ia kembali lagi ke rumahnya setelah menikmati cuti di desa. Boleh percaya atau tidak tapi kenyataannya ada diantara mereka yang diantar majikan sampai Cianjur. Garuda Indonesia juga sering mengangkut tenaga kerja wanita asal Indonesia yang memiliki tiket pesawat pulang pergi yang dibelikan majikannya untuk cuti dengan menumpang kelas bisnis!
Mereka-mereka itu adalah tenaga kerja wanita yang beruntung mendapat majikan berhati malaikat. Dari merekalah banyak orang tua di pedesaan maupun para suami di Indonesia memperoleh uang penghasilan. Bahkan beberapa suami malah kawin lagi dengan uang kiriman dari isterinya yang bekerja di Arab Saudi! Mereka memang pantas bila disebut sebagai "pahlawan devisa". Karena mereka membawa uang asing yang harus ditukar dalam rupiah dan uang asing tersebut menjadi devisa negara. Sementara yang murung tadi ternyata dibatalkan keberangkatannya oleh perusahaan penerbangan Garuda. Padahal mereka datang dari kota kecil yang sangat jauh. Akhirnya banyak yang terlantar di airport.
Petugas Kedutaan Besar RI yang sedang bertugas di bandar udara internasional King Khalid di Riyadh akhirnya membantu proses kepulangan mereka yang tertunda. Malam itu ada 4 tenaga kerja wanita yang diangkut ke penampungan KBRI Riyadh di Um Al-Hamam untuk diproses kepulangannya keesokan harinya. Sementara seorang tenaga kerja laki-laki ternyata sudah 2 hari tiba di airport tanpa ada majikan atau sponsor yang menjemput. Saya lapar belum makan selama 2 hari, katanya memelas.
Cerita keberuntungan tenaga kerja wanita asal Indonesia memang bukan isapan jempol. Ada juga yang kerasan dan cukup senang tinggal bersama majikan yang baik walaupun tidak kaya. Staf KBRI Riyadh pernah menjumpai tenaga kerja wanita asal Indonesia yang berbahagia bekerja pada majikan peternak kambing yang tinggal nun jauh di tempat terpencil dekat perbatasan Jordania. Namun memang ada pula yang pasrah dengan kehidupan yang ada di Arab Saudi sebagai suatu kewajiban.
Saat ini, sebagian besar cleaning services serta sopir bis sekolah milik Al Rowad International School, Riyadh, dimana beberapa anak diplomat Indonesia bersekolah, adalah tenaga kerja asal Indonesia. Masuk gedung sekolah internasional tersebut yang terletak di Um Al-Hamam, Riyadh rasanya seperti masuk ke sebuah sekolah di Jakarta. Kita bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan banyak orang di situ. Semua anak tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di situ juga memperoleh gratis uang sekolah yang memungut 15.000,- riyals per tahun untuk murid sekolah dasar kelas 6. Di sekolah itu ada pula anak dan isteri seorang sopir asal Indonesia yang diminta ikut tinggal oleh majikannya seorang janda dan semua keperluannya dibiayai.
Kamis dan Jumat adalah hari libur untuk semua orang di negara-negara timur tengah. Kalau anda berjalan-jalan ke Mall di Riyadh yang jumlahnya sekitar sepuluh buah, pasti akan menjumpai tenaga kerja wanita asal Indonesia yang sedang mendampingi majikan berbelanja. Mereka agak takut-takut kalau ketahuan majikan sedang bersapa dengan orang sesama negara asal. Lebih baik pura-pura tidak tahu bahwa kita berasal dari negara yang sama dengan mere, dari pada mereka kena marah dicurigai berhubungan dengan orang lain bukan mukhrim. Apalagi pacaran. Walau hanya bertatap muka hal itu masih suatu yang tabu bagi budaya setempat. Padahal ia hanya bertemu di jalan atau di mall dan bertegur sapa sejenak dengan pria senegara asal.
Pernah ada seorang tenaga kerja wanita asal Indonesia yang dipercaya sebagai pembantu rumah tangga seorang putri kerajaan dan tinggal cukup lama di istana. Kepercayaan itu akhirnya punah dan ia akhirnya harus pulang ke Indonesia. Ia tertangkap muttawa atau polisi agama sedang berduaan dengan seorang laki-laki yang bukan muhrim.
Dalam perjalanan kembali ke Riyadh dari Jakarta, penulis pernah bertemu dengan seorang wanita asal Sukabumi yang bernasib mujur dapat bekerja di lingkungan istana kerajaan. Namanya Bu Nani bt Doli Salim asal desa Cisaat, Sukabumi. Usianya sekitar 45 tahun. Ia adalah seorang tukang masak yang bekerja sejak 1987 pada rumah tangga seorang Menteri Arab Saudi yang beristerikan seorang putri kerajaan. Saat ini Bu Nani dapat membawa serta 3 saudaranya untuk bekerja ditempat yang sama. Seorang diantara saudaranya itu kini menjadi sopir di istana.
Saat penulis melihat paspornya, ternyata sudah banyak cap visa di lembar paspor yang menunjukan ternyata Bu Nani telah sering melanglang buana. Bu Nani ternyata sering menyertai Sang Putri pergi ke luar negeri. Bu Nani mengaku kadangkala ia hanya sebulan di Riyadh lalu 2 bulan di negara-negara Schengen atau London atau New York. Ia juga berpindah-pindah antara Jeddah dan Riyadh mengikuti jadwal Sang Putri. Saat pergi keluar negeri majikannya selalu menggunakan pesawat pribadi dan tinggal di hotel-hotel bintang 5. Kalau ada hotel berbintang 7 pasti Bu Nani akan ikut merasakan menginap di situ, saking kayanya si majikan. Bu Nani mengaku menerima gaji standar seperti tenaga kerja wanita asal Indonesia yang lain, yaitu 1000 Riyal per bulan sementara keponakannya yang menjadi sopir menerima 1350 Riyal. Namun ia selalu memperoleh tambahan 200 Euro kalau sedang mengikuti majikan ke Eropa.
Bu Nani mengaku cukup bahagia bekerja untuk mereka. Bekerja di manapun tidak ada yang enak, katanya. Karena itu orang bekerja harus memiliki kesabaran. Sejak bekerja pada majikan itu tahun 1987 ia tidak pernah berfikir pindah majikan setelah kontrak habis 2 tahun. Ia juga sempat menitipkan nasehat untuk teman-teman sesama tenaga kerja wanita asal Indonesia bahwa kalau sudah bertemu dengan seorang majikan yang baik jangan pernah berpindah-pindah cari majikan lain. Tidak semua majikan Arab Saudi itu baik, katanya.
Karena hubungannya sudah sangat baik dengan majikan di tahun-tahun belakangan ia dapat pulang beberapa kali dalam setahun untuk menengok saudara. Setiap hari lebaran ia diperkenankan pulang dan diberi uang 3000 Riyal. Majikannya sudah percaya benar bahwa ia tidak akan kabur. Tahun ini ia memilih pulang sebelum puasa. Saya ingin membalas kebaikan selama ini dengan membuat senang majikannya, demikian katanya.
Tanggal 5 Agustus 2009 malam itu pesawat Saudi Airlines 0823 yang saya tumpangi dari Jakarta mendarat di Bandar Udara Internasional King Khaled, Riyadh. Kamipun berpisah. Bu Nani dijemput oleh seorang petugas protokol kerajaan di pintu keluar pesawat. Seperti penulis yang kebetulan diplomat, Bu Nani ternyata juga tidak perlu antri panjang di counter imigrasi. Tas kopernya juga diurus sang petugas protokol. Sambil mengucapkan sampai bertemu lagi ia memberikan nomor telpun tempat ia bekerja di Istana Jeddah dan Riyadh kepada saya.
Selamat jalan bu Nani …………do'a ku menyertaimu.
                                 Riyadh, 7 Maret 2010

*) Penulis masalah TKI, Tinggal di Riyadh, dan salah seorang Pegawai aktif  KBRI  Riyadh.

Comments :

0 komentar to “Jadi TKI Demi Kehidupan Yang Lebih Baik”

Posting Komentar

Majalah Islam Tsaqofah

 

Copyright © 2009 by Majalah Islam Tsaqofah