Kini Tsaqofah Edisi 37 akan Beredar diseluruh toko toko Indonesia yang ada di Riyadh, atas partisipasinya dalam berlangganan kami tak lupa haturkan ribuan terima kasih

Nilai Keteladanan Dalam Mendidik

Oleh : Abu Naufal Al-Muammal

Setiap orang pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang baik dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Hanya orang tua yang tidak bertanggung jawab yang membiarkan anaknya terlantar; tidak mengenyam pendidikan dan pembelajaran. Anak merupakan tumpuan harapan bagi orang tua di masa tua. Kegagalan dalam mendidik anak dan mempersiapkannya menjadi orang berguna membuahkan hopeless (ketiadaan harapan) untuk semua.
Oleh karena itu, orang tua yang normal sangat konsen terhadap pendidikan anak; baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan nonformal di luar lembaga pendidikan, seperti di rumah. Bahkan tidak jarang orang tua bersikap kasar atau merasa jengkel terhadap anaknya yang lalai dalam melaksanakan tugas belajar. Dan tidak sedikit orang tua memarahi bahkan memukul anaknya karena tidak mau mengerjakan home work (PR) yang diberikan dari sekolahnya.

Yang disayangkan adalah, masih banyaknya orang tua yang tidak memberi ketauladanan kepada anaknya. Tidak sedikit para orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi orang-orang shalih, tapi hal itu tidak dicontohkan oleh mereka yang menjadi panutan pertama sebelum para guru yang mengajarkan ilmu. Banyak yang mengharapkan keberhasilan pendidikan anaknya, sementara mereka sendiri tidak memberi bimbingan bahkan sibuk dengan hoby masing-masing, seperti nonton televise, ngrumpi dengan tetangga, atau yang lainnya. Hal ini memang sering terjadi di masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah.

Di lingkungan orang-orang terpelajar, pada umumnya anak-anak lebih terkondisikan dalam suasana yang mendorong mereka untuk maju dalam pendidikan. Akan tetapi, yang perlu ditekankan di sini adalah, apa hakekat pendidikan dan apa target yang perlu dicapai dalam pendidikan. Kalau kita melihat dasar rancangan pendidikan yang ditetapkan di UNESCO maka akan didapatkan empat dasar pendidikan, yaitu Learning to know (belajar untuk mengetahui); Learning to do (belajar untuk bertindak); Learning to be (belajar untuk menjadi (pribadi); Dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Empat dasar inilah yang perlu diperhatikan oleh setiap pengelola dan pelaksana belajar mengajar dan pendidikan. Artinya, keberhasilan pendidikan tidak dilihat dari sisi kepandaian yang didapat atau gelar pendidikan yang dicapai saja, melainkan harus dilihat juga dari sisi kepiawaian dalam mengamalkan ilmu untuk hidup bersama.

Ilmu yang dominan mempengaruhi kepribadian adalah ilmu tentang keyakinan dan akhlak. Kedua macam ilmu ini menjadi titik tekan pengajaran dalam agama, terutama agama Islam. Oleh karena itu, orang-orang beragama yang lemah dalam mempelajari dua bidang ilmu ini akan lemah dalam pelaksanaan ajaran agamanya.

Dalam Islam dikenal suatu istilah tarbiyah sebagai kata yang mungkin disepadankan dengan pendidikan dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kata tarbiyah dalam bahasa Arab digunakan lebih umum dan mencakup seluruh sisi; baik sisi jasmani maupun rohani, atau sisi kecerdasan berpikir maupun sisi kepribadian dan sikap prilaku. Namun, dilihat dari konteks yang berlaku, kata tarbiyah diseiringkan dengan kata pendidikan yang lebih luas ketimbang kata pengajaran.

Keteladanan dalam dunia pendidikan mutlak diperlukan karena manusia merupakan makhluk peniru. Dalam pepatah Arab dikatakan,الإنسان بن بيئته   yang berarti, "Manusia adalah anak dari lingkungannya." Oleh karena itu, Allah Swt. menjadikan  RasulNya, Muhammad saw., manusia super yang keseluruhan hidupnya menjadi panutan dan tuntunan bagi ummat dan lingkungannya.

Kewajiban melaksanakan tugas agama jatuh pada mukallaf, yaitu orang yang berakal dan sampai pada usia baligh dengan tanda-tanda sebagai berikut: mencapai usia 15 tahun, menstruasi setelah 9 tahun ke atas bagi wanita, atau keluar mani lewat mimpi atau yang lainnya bagi kaum pria pada umumnya. Akan tetapi mengajarkan ilmu Islam wajib diajarkan sejak usia kanak-kanak dan dibiasakan untuk diamalkan sejak dini agar ketika jatuh tempo kewajiban, sang anak sudah siap melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan kesempurnaan.

Seorang anak wanita yang belum baligh tidak wajib mengenakan hijab syar'iy yang menutup seluruh auratnya, tapi jika ia dibiasakan sejak kecil maka akan membentuk karakter yang baik yang terbawa hingga dewasa sehingga tidak berani membuka bagian tubuh yang tidak boleh terlihat oleh orang lain setelah dewasa.

Tidak salah orang yang berperinsip dengan hukum dalam masalah ini, yaitu membiarkan dan memberikan pakaian-pakaian mini kepada anak-anak perempuan yang masih kecil karena belum berkewajiban menutup aurat. Akat tetapi, wajib diberi kepahaman kepada mereka bahwa setelah baligh harus mengenakan pakaian yang menutup aurat. Jangan sebaliknya, anak-anak TKA (Taman Kanak-Kanak Al-Qur'an) berpakaian rapih menutup aurat mereka, tapi yang mengantarkan mereka, ibu, tante, atau kakak mereka berpakaian serba mini. Lengan tangan terbuka; leher terbuka; bahkan sebagian dada dan paha pun tidak risih terlihat orang. Ini memang hasil didikan lingkungan yang mereka alami. Anak-anak TKA yang sekarang rapih, setelah dewasa kebanyakan meraka mengikuti keadaan lingkungan.

Oleh karena itu, menididik anak lewat lingkungan yang baik lebih berhasil ketimbang dididik lewat pemahaman yang tidak diaplikasikan dalam lingkungan. Bahkan perkataan anak kecil dan pelaksanaan tentang ajaran Islam bisa lebih mengena ketimbang ceramah seorang alim yang penuh dalil. Ada sebuah cerita yang menggelitik kesadaran orang yang beriman.

Seorang ibu aktifis dakwah memiliki banyak anak. Semua anak-anaknya yang perempuan dibiasakan untuk mengenakan pakaian muslimah sejak dini, pada usia enam dan tujuh tahun, bahkan pada usia-usia sebelum itu meskipun hanya sesekali. Di hati mereka tertanam kesadaran bahwa pakaian seorang wanita muslimah harus menutup semua bagian tubuh yang biasa tertutup, terutama setelah menginjak dewasa. Karena kesibukan dalam aktifitas dakwahnya, ibu aktifis dakwah ini berinovasi untuk mengarahkan anak-anak yang besar agar bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Kebetulan jumlah anaknya dua belas. Maka, dibuat aturan delegasi tanggung jawab secara tetap sebagai berikut. Anak pertama bertanggung jawab untuk membantu dan memperhatikan anak ke 6, anak ke dua ditugasi anak ke 7 dst. Meski demikian, mereka tetap harus kompak dan saling membantu tanpa pilih kasih. Sementara urusan mencuci dan menggosok pakaian, ia menyewa tenaga seorang ibu yang ada di sekitar lingkungan.

Karena pada umumnya lingkungan masyarakat kaum ibu di Indonesia tidak mengenakan kerudung, bahkan pakaian mereka pun mini atau tidak menutup bagian leher, lengan tangan, dan betis maka ibu penbantu ini pun sering memasuki rumah ibu aktifis ini dengan penampilan pada umumnya kaum ibu. Pada suatu hari, ketika sang ibu aktifis berada di rumah, si kecil yang baru usia enam tahun ini memanggil-manggil ibunya, "Ummi.. ummi.." Sang ibu menyahut, "Ada apa sayaang.. " Ia bertanya kepada ibunya dengan suara yang bisa didengar oleh orang di sekitarnya, termasuk ibu pembantu yang sedang mencuci di kamar mandi, "Ummi, ibu yang suka nyuciin pakaian Nur (nama dirinya), seorang muslimah, bukan sih?" Sambil tersenyum, sang ibu bertanya, "Emangnya.. kenapa, sayang?" "Itu.. kok.. nggak pakai kerudung.. bajunya pendek lagi.." si kecil mengadu.

Pada hari berikutnya si ibu pembatu tersebut datang dengan pakaian yang rapih menemui sang ibu aktifis seraya berkata: "Bu, saya mohon maaf sekaligus terimakasih." "Lho memang ada apa, embak?" ibu aktifis merasa heran. "Begini bu.. kemarin kan ibu ada di rumah, kemudian si kecil kan mengadukan tentang saya kepada ibu. Saya dengar ucapan si kecil yang lucu itu. Akhirnya setelah mendengar ungkapan si kecil itu, saya jadi merasa malu.. sekaligus menyadari kekeliruan saya." Si ibu pembantu mengekspresikan perasaannya. "Oo.. demikian toh! Itu sih tidak perlu minta maaf ke saya. Sebaliknya, saya minta maaf karena mungkin anak saya sudah menyinggung perasaan embak." Sang ibu aktifis berapologis. "Tidak ,tidak Bu. Saya tidak merasa tersinggung. Sebaliknya saya berterima kasih dengan kejadian ini. Mungkin inilah jalannya untuk saya tersadarkan dan Allah membuka mata hati saya." Ibu pembantu menyampaikan perasaan senangnya. "Sukurlah kalau itu yang embak simpulkan. Semoga Allah meneguhkan keimanan dan keislaman embak." Ibu aktifis merasa gembira dengan perubahan pembantu tersebut, sementara air matanya berkaca-kaca dan hampir menetes karena terharu dengan apa yang terjadi.

Semoga banyak orang yang mengalami kejadian seperti itu yang mengubah prinsip kehidupan; dari keadaan yang hanya memikirkan kehidupan dunia menjadi berorientasi kepada kehidupan abadi, dari sekedar mengejar-ngejar kesenangan yang bersifat emosional dan syahwat kepada kesadaran behwa kesenangan yang abadi adalah segala yang ditawarkan oleh Ilahi Rabbi di alam baka nanti.

Comments :

0 komentar to “Nilai Keteladanan Dalam Mendidik”

Posting Komentar

Majalah Islam Tsaqofah

 

Copyright © 2009 by Majalah Islam Tsaqofah