Kini Tsaqofah Edisi 37 akan Beredar diseluruh toko toko Indonesia yang ada di Riyadh, atas partisipasinya dalam berlangganan kami tak lupa haturkan ribuan terima kasih

Punya Istri Cantik Itu Enak Benarkah?


 Oleh : Wong Jagapura

Suatu hari,  saat masih lajang, aku bertemu seorang teman di salah satu kedai bakso di kampungku. Setelah ngobrol basa-basi, kutanyakan padanya; kenapa datang sendirian, kenapa isteri tidak diajak serta, dan lain sebagainya.
Wajar kutanyakan hal itu, sebab yang kutahu, beberapa bulan sebelumnya ia baru saja menikah dengan Elis (nama samaran), gadis desa berparas cantik. Kukatakan demikian karena –paling tidak, menurut penilaian -- hanya laki-laki kurang normal saja yang mungkin tidak tertarik dengan kecantikan paras isterinya.
Tanpa rasa canggung ia mengatakan bahwa ia sudah menceraikan isterinya. Sempat  terperangah juga kumendengarnya. Betapa tidak, tak sedikit pemuda desa yang naksir berat pada isterinya, Eh…, malah ia menceraikannya.  Ada apa gerangan?
Ternyata, menurut temanku tadi,  isterinya bukanlah termasuk tipe isteri yang menghargai eksistensi suami. Katanya, isterinya memang cantik, tapi sering kurang sopan pada suami. Wajahnya memang ayu, tapi kurang bagus akhlaknya. Kepada suami ia sering "melawan" dan banyak menuntut.
Setelah sekitar 4 tahun menduda, temanku itu kemudian menikah lagi dengan Yati (nama samaran), gadis tetangga desa. Yati  memang  tak seberapa cantik. Tapi --kata istilah mas Karmin-- masih pantes diajak kondangan.
Alhamamdulilah, mereka hidup rukun. Sudah dikaruniai momongan dan usia pernikahan mereka kini sudah lebih dari 7 tahun. Walaupun aku tak kenal dekat dengan Yati, tapi menurut informasi isterinya Mas Karmin, wanita yang saat dinikahi masih berstatus perawan itu termasuk wanita penyabar, sopan, dan taat pada suami. Dan yang menarik dari Yati, ia mau menerima suami apa adanya.
Dari gambaran di atas, untuk sementara dapat aku simpulkan, ternyata menikah dengan isteri cantik bukan jaminan untuk hidup bahagia. Benarkah?

Di lain waktu, aku pernah bertemu dengan seorang perempuan yang aku kenal waktu mudanya lumayan cantik. Sebut saja namanya Reni. Bahkan ia pernah jadi salah satu primadona di desaku. Tapi itu dulu, sewaktu ia masih berusia 16 tahunan. Dan aku pun waktu itu masih awal-awal masa kuliah.

Lalu, waktu aku pulang cuti kemarin, setelah sekitar belasan tahun tidak bertemu,wanita yang cuma tamat SMP itu terlihat begitu layu dan tak menggairahkan. Wajahnya tak sebersih dulu, tak secantik dulu. Cahaya keayuannya terlihat redup, bak rembulan tertutup awan. Ia terlihat seperti  7 tahun lebih tua dari usianya. Saat berpapasan dengannya, aku seperti tak percaya kalau dulu dia pernah jadi buah bibir teman-teman sepermainanku.
Ternyata, setelah kutanyakan pada seorang tetangga yang kenal dengan Reni, dia bilang, Reni sudah lama menikah dengan seorang pemuda dari keluarga berada. Tapi suaminya agak pemalas. Suami Reni memang punya tampang lumayan ngganteng. Jauh dibanding tampang Mas karmin yang --kata Abu Abu Abidah, sih-- terlihat ndeso (Maaf, ya Mas Karmin, ojo tersinggung).  Awalnya sang suami memang termasuk anak orang berada. Sehingga  mereka --sebagai anak-menantu, kata Mas karmin, melu  kecripatan sugih. Tapi setelah mertua Reni meninggal dan harta warisannya dibagi-bagi, kehidupan suaminya jadi pas-pasan. Karena suami tipe pemalas, akhirnya sebagai isteri, hampir tiap hari Reni harus ikut banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya.  Bisa ditebak, Reni tak punya waktu untuk mengurus badannya. Wajah Reni yang dulu terlihat putih bersih, waktu itu terlihat kusam dan tidak menarik lagi. Aku hampir tak percaya kalau dia adalah Reni yang kukenal dulu.
Pembaca yang budiman, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sosok  Elis, Yati, dan Reni? Ternyata, punya isteri cantik tak selamanya mengenakkan, bahkan sebaliknya, mungkin kadang menyakitkan, jika pribadinya tidak salehah. Dan ternyata, kecantikan fisik (wajah ayu) usianya tak seberapa lama. Bahkan temanku pernah sesumbar, ketertarikan pada isteri karena sebab cantikannya hanya berlangsung tak lebih dari 2 tahun (bahkan ada teman lain yang bilang, ketertarikan pada isterinya cuma saat bulan madu saja).  Katanya, begitu sudah turun mesin (punya anak), kecantikannya berangsur-angsur  pudar. Apalagi kalau sang isteri pelit berdanda untuk suaminya. Setelah itu, yang muncul dari perasaan suami --ada isterinya-- adalah rasa sayang, bak seorang kakak kepada adiknya.
Semua pemuda di kampungku sepakat bahwa Elis adalah wanita cantik, tapi ia gagal dicintai suaminya. Mungkin ia disanjung banyak pemuda desa, tapi sang suami malah "mendepaknya", lantaran kecantikan fisiknya tak dibarengi dengan akhlak yang baik, paling tidak kepada suaminya.
Kecantikan Yati memang pas-pasan (standar), tapi ia enak dijadikan isteri. Ia penyabar, sopan, dan sangat menghargai keberadaan suami. Ia menyadari betul posisinya sebagai isteri yang tidak hanya taat, tapi juga harus memahami watak dan selera suami.
Reni memang tergolong wanita berparas ayu, tapi keayuannya cepat kandas karena ia tak mampu merawatnya dengan baik. Andai saja seorang wanita bisa "menjatuhkan talak" pada suaminya, mungkin Reni sudah "menceraikan" suaminya yang pemalas itu. Tapi untung, dia masih ingat nasehat seorang Kyai yang pernah ia mintai pendapatnya, sewaktu Reni pernah elik (minta pisah ranjang) dengan suaminya, bahwa seorang isteri yang minta cerai pada suaminya (bukan karena alasan syar'i) diharamkan mencium bau surga. Demikian sang kyia memberi saran. Dengan ancaman ngeri seperti itu,  Reni mengurungkan niatnya untuk minta cerai. Ya, sekalipun Reni bukan lulusan pesantren, tapi kalau sudah Kyai yang memberinya nasehat, ia cuma manduk-manduk saja. Sebab ia tahu betul Kyai yang satu ini, selain alim, juga wara' (integritasnya terjaga dengan baik dan tidak melacurkan idealisme sebagai penjaga moralitas).
Ok, kita tinggalkan sejenak dan tak perlu penasaran, bagaimana kelanjutan drama kehidupan Elis, Reni, dan Yati. Sebab ada yang lebih penting untuk kita pahami, bahwa betapa pentingnya memperhatikan aspek agama (akhlak dan mentalitas) dalam memilih calon pasangan hidup. Idealnya, calon pasangan kita adalah orang yang berasal dari keluarga baik-baik (faktor keturunan), enak dipandang (faktor kecantikan/kegantengan), mampu memberi nafkah secara layak (faktor kekayaan), dan berakhlak baik (faktor agama). Namun kalau tidak bisa mendapatkan keempatnya, pilihlah yang agamanya bagus (saleh/salehah). Demikian Nabi saw berpesan.
Kenapa kesalehan calon pasangan begitu penting? Apa saja ciri-ciri pria/wanita yang saleh-salehah itu? Bagaimana kiat mencari jodoh yang baik? Bagaimana cara mendapatkan pria/wanita idaman? Apakah orang beragama (pandai ilmu agama) pasti saleh/salehah? Apakah beristeri dengan wanita cantik dan penurut pasti hidupnya akan menyenangkan? Apakah bersuami ganteng dan tajir pasti hidupnya enak? Sederet  pertanyaan tadi insya Allah akan dijawab dan dikupas pada edisi-edisi mendatang secara berseri. Tapi yang pasti, hidup dengan suami saleh atau isteri salehah bagaikan hidup di alam surga. Rumah kita ibarat surga dunia. Baity jannaty. Tidak percaya? Silahkan Anda mencobanya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya coba gambarkan sedikit saja, bagaimana dulu Mas Karmin mendapatkan jodohnya. Seperti yang penah diutarakan Mas Karmin pada penulis (AA).
Waktu itu, usia Mas Karmin sekitar 30 tahunan. Untuk ukuran pemuda kampung, ia tergolong telat nikah, karena rata-rata teman sepermainan Mas karmin sudah punya anak usia SD.
Ada seorang gadis cantik usia tujuh-belasan  di kampung Mas Karmin. Wajahnya ayu, berambut panjang, dan postur tubuhnya aduhai, bak artis India. Bahkan ada yang bilang, kembang desa yang satu ini, kecantikannya tak jauh beda jauh dengan Hema Malini, artis India yang ngetop di tahun 80-an. So pasti, banyak pemuda yang ngiler ingin mempersuntingnya.
Singkat cerita, Mas Karmin juga ternyata berhasrat ingin memilikinya. Dan gadis belia ini pun diam-diam ternyata menaruh hati pada Mas karmin. Istilahnya, gayung bersambut.  Tapi atas masukan seorang teman, Mas Karmin disarankan melakukan jejak pendapat dulu dengan orang-orang sekitar, terutama terhadap orang-orang yang respek dengan masa depan Mas Karmin. Apakah pantas Mas karmin bersanding dengan gadis demplon tadi?

Setelah diadakan jejak pendapat, ternyata hanya 25% yang mendukung. 65% tidak mendukung, dan sisanya (10%) abstain. Alasan yang tidak mendukung karena –bila menikah dengan “putri India”-- dikhawatirkan masa depan Mas Karmin kurang cerah. Sebab Mas Karmin –oleh simpatisannya—dianggap bakal bisa menjadi tokoh masa depan, paling tidak di kampung halamannya. Jadi pasangan hidupnya, minimal harus se-kufu dan harus bisa mengimbangi track-record Mas Karmin. Tidak cukup hanya dengan modal kecantikan tok.

Disamping itu, karena kebetulan kembang desa tadi berasal dari keluarga kurang mampu dan Mas Karmin pada waktu itu masih jadi pemuda kere (berpenghasilan pas-pasan), bahkan minus, diprediksi, awal-awal rumah tangga Mas Karmin akan sering gonjang-ganjing, karena pedaringane sering njompleng dan akan sulit membentuk keluarga sakinah. 

Setelah batal berjodoh dengan seven teen girl, akhirnya Mas Karmin menikah dengan wanita bersahaja, masih lumayan cantik, punya pekerjaan (wanita mandiri), dan dari keluarga sedikit mapan (secara ekonomi), walaupun usianya 13 tahun lebih tua dari gadis yang gagal dipersunting tadi. Tapi hampir semua teman seperjuangan dan kerabat dekat Mas karmin, meng-amini pernikahan ini. Sebab kata Karman, “Mas Karmin ngkone bli kudu njungkel malik luru pekaya, endas dadi sikil, sikil dadi endas, kanggo ngopeni anak rabi, melas”.  Dan perjuangan Mas Karmin –sebagai pemuda harapan desa—diharapkan tetap continue,  tanpa harus banyak terganggu porat-paritnya ekonomi keluarga.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, wanita yang gagal bersanding dengan Mas karmin pun, akhirnya dapat jodoh dengan pemuda satu kampung dari keluarga orang berada. Itulah jodoh yang win-wis solution. Baik Mas Karmin maupun “mantannya” sama-sama menang, tak ada yang dirugikan. Wallahu a'lam.

Comments :

0 komentar to “Punya Istri Cantik Itu Enak Benarkah?”

Posting Komentar

Majalah Islam Tsaqofah

 

Copyright © 2009 by Majalah Islam Tsaqofah