Kini Tsaqofah Edisi 37 akan Beredar diseluruh toko toko Indonesia yang ada di Riyadh, atas partisipasinya dalam berlangganan kami tak lupa haturkan ribuan terima kasih

Rela Jadi Sawwag Demi Anak Menjadi Sarjana

Oleh : Audy Gharnata

Awalnya, saya tak pernah membayangkan akan menjadi TKI, apalagi berprofesi sebagai sawwag (sopir). Karena jelek-jelek begini,  di kampungku, ayahku termasuk orang terpandang, lho? Tapi perjalanan hidup seseorang  kadang tak bisa diprediksi. Termasuk diriku tak pernah tahu kalau di kemudian hari menjadi driver di negeri Seribu Amir ini.
Dulu, sewaktu lulus dari SMA tahun 1982, saya meneruskan kuliah di Universitas Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Sewaktu SMA kelas III, saya sempat naksir berat pada seorang siswi SPG (Sekolah Pendidikan Guru), namanya Maryani. Orangnya cukup cantik, langsing, dan tinggi-semampai. Tapi tak berlanjut sampai ke pelaminan. Maklum, pada waktu itu "karir hidup" saya lagi terpuruk.

Betapa tidak, waktu itu, saat masih duduk di semester IV Unsoed, saya diminta oleh masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai carik (sekretaris desa). Sayang, saya tidak terpilih. Karena sudah banyak keluar uang, akhirnya kuliahku pun terancam bangkrut. Dan benar, beberapa waktu kemudian saya hengkang dari Unsoed. Di saat kondisi seperti itu, Maryani, sebagai calon ibu dari anak-anak, semestinya memberi support (dorongan) agar saya  bangkit kembali. Eh…, malah sebaliknya, dia minta putus hubungan.

Dunia rasanya mau kiamat. Wanita yang selama ini saya idam-idamkan untuk menjadi calon pendamping, ternyata lari dari kehidupanku, justru di saat saya lagi butuh perhatian dan dukungan moril. Mulai saat itulah akhirnya saya benci terhadap mahluk yang namanya perempuan. Waktu itu saya berpikir, mahluk yang satu ini ternyata hanya mau setia bila kita sedang tajir. Jadi benar kata pepatah, "ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang."

Walau saya benci pada Maryani, tapi karena nama Maryani sudah merasuk dalam sanubariku yang paling dalam, sulit bagiku untuk begitu saja lepas dari bayang-banyang Maryani. Makanya  saya sesumbar, tak akan menikah dengan wanita manapun, kecuali wanita itu juga bernama Maryani dan memiliki kemiripan dengan Maryani mantan.
Sampai suatu hari, pada tahun 1986, melalui perantaraan adik perempuanku, saya dikenalkan dengan seorang gadis, mahasiswi PGSD Kebumen semester II. Kebetulan dia juga bernama Maryani dan memiliki postur tubuh yang tak jauh beda dengan Maryani, sang mantan; cantik, langsing , tinggi-semampai. 
Setelah  menikah dengan Maryani  saya merantau ke Jakarta. Di sana saya bekerja di sebuah perusahaan kontaktor yang sedang menggarap pasar Ramayana. Saya bekerja sebagai juru gambar. Setelah sukses menggarap pasar Ramayana, perusahaan tempat saya bekerja diminta menggarap proyek Cibitung dan saya termasuk karyawan yang cukup diandalkan. Tak hanya gaji pokok yang saya dapatkan, tiap minggu saya pun dapat uang tambahan dari pimpinan proyek. Mungkin karena kerja saya diangap bagus dan sering terlibat lembur.

Dari kerja keras itu, kehidupan ekonomi saya mulai membaik, bahkan sampai bisa membeli motor besar (honda Tiger) segala. Istriku yang tinggal di Jawa Tengah juga merasa senang karena sering dapat kiriman uang dan bisa buka warung kecil-kecilan di kampung.

Namun, seperti watak manusia pada umumnya yang sering lupa dan kurang bersyukur pada Tuhan kalau lagi jaya, di saat dompet mulai tebal, saya mulai tergoda dengan perempuan lain. Sebut saja perempuan itu bernama Siti Maemunah, wanita tinggi langsing asal Kuningan Jawa Barat. Hampir tiap minggu perempuan itu –maaf—saya booking untuk saya ajak jalan-jalan, dan seterusnya.

Setelah mendapat "hidayah" di Saudi, kalau  teringat masa-masa itu, saya malu pada Gusti Allah. “Duh Gusti, betapa besar dosa-dosaku di masa lalu. Ampunilah daku yang hina ini, ya Rabb.” Demikian tambahan doa yang sering kupanjatkan selasai shalat lima waktu. Ya, betapa waktu itu saya sedikitpun tidak merasa bahwa apa yang saya lakukan termasuk perbuatan dosa besar, zhalim dan nista, bahkan mungkin terkutuk. Saya benar-benar telah menzhalimi istri dan diri saya sendiri.
Tahun 1997, di saat krisis ekonomi mulai melanda negeri kita, perusahaan tempatku bekarja mulai oleng. Pimpinan proyek --yang kebetulan dipegang orang bule-- lari ke luar negeri. Perusahaan jadi gulung tikar, dan sebagian besar karyawan di PHK, termasuk diriku. Akhirnya saya pun harus pulang kampung.

Inilah keterpurukannku yang kedua, setelah keterpurukanku yang pertama (gagal jadi carik). Tapi keterpurukan yang kedua ini, bukan hanya dari sisi ekonomi (karena kehilangan mata pencaharian), tapi juga terpuruk dari sisi moralitas, yakni selingkuh dengan wanita lain.
Tahun 1999, dari sisa tabungan yang ada --hasil kerja keras di Jakarta, ditambah bantuan dana dari orang tua, saya memberanikan diri ikut pemilihan Lurah di kampungku, di Cilacap. Mungkin orang tuaku masih penasaran bahwa masih banyak masyarakat yang simpatik pada kedua orang tuaku. Maklum, bapakku juga dulu pernah jadi Lurah.

Lagi-lagi saya gagal terpilih. Untungnya, isteriku termasuk isteri yang setia dan perhatian, tidak seperti Maryani pertama. Dalam kondisi  segalanya terpuruk, istriku terus memberikan dorongan agar saya mau bangkit kembali dan tak perlu menyesali sesuatu yang telah terjadi. Hidup harus dijalali bagai air mengalir, tak pantang menyerah untuk terus mengalir sampai ke muara. Begitu pula kita, hidup harus terus dijalani dengan semangat air, terus mengalir dan berkarya sampai mencapai sukses. Demikian kira-kira yang diharapkan istri tercinta, terhadap diriku, waktu itu.

Menjelang tahun 2000, saya kembali mengadu nasib ke Jakarta dan mencoba kerja di beberapa proyek. Di Jakarta saya kembali bergelut dengan pekerjaan dari satu proyek ke proyek yang lain. Hal ini berlangsung sampai 4 tahun lamanya. Hasilnya cukup lumayan. Tapi tentu membosankan, karena di sampaing jauh dari keluarga, juga yang saya geluti adalah pekerjaan yang banyak menyita tenaga fisik. Tapi alhamdulillah, untuk yang kedua ini saya selamat dari jebakan perempuan. Maksudnya, tidak berselingkuh lagi seperti dulu. Namun hidup di perantauan tanpa bersanding dengan istri (apalagi secantik dan sehebat Maryani) rasanya begitu hambar dan membosankan. Karena sudah merasa jemu hidup di Jakarta, tahun 2004 saya pulang kampung lagi.
Di kampung saya membuka usaha baru, yaitu usaha membikin jamu tradisional. Kebetulan di daerah kami, Cilacap, home industri pembuatan jamu bubuk tradional cukup menjamur dan terkenal sampai ke berbagai daerah. Karena khasiat jamu tradisonal ternyata tak kalah manjur dibanding dengan obat-obatan kimiawi yang dijual di apotek. Jamu bubuk yang kami bikin ternyala laku keras di pasaran.

Mungkin roda kehidupanku tak pernah berhenti berputar, kadang berada di atas, kadang di bawah. Usaha jamu yang mulai berkembang maju tadi akhirnya harus ditutup oleh polisi, karena dianggap tidak punya izin resmi dari badan POM dan departemen Perindustrian. Tak hanya usaha milik keluarga saya yang ditutup, banyak juga usaha jamu orang lain yang terpaksa harus berurusan dengan pihak berwajibn. Hanya beberapa pengusaha yang bermodal saja yang selamat dari razia polisi.
Setelah usaha jamu gulung tikar, akal sehatku mulai eror. Di saat kondisiku sedang down dan pikiran mulai kalut, setan membisikkan sesuatu pada nalar sehatku agar segara mencari  pesugihan dengan jalan pintas. Karena tuntutan hidup semakin keras dan anak-istri harus makan, sedang berbagai usaha sudah saya coba dan selalu kandas, akhirnya atas ajakan seorang teman saya pergi ke tempat-tempat klenik untuk mencari "sumber rejeki" dengan cara instant . Dari dukun biasa sampai ke dukun nyentrik dan sangar saya datangi, bahkan petualanganku --dalam mencari pesugihan-- sampai juga ke Gunung Kawi, tempat kramat  yang sangat dikenal dalam jagat perklenikan di Tanah Jawa.

Mungkin karena Allah masih sayang padaku, petualanganku mencari pesugihan itu justru kandas setelah saya datang ke Gunung Kawi dan bertemu dengan Ki Kuncen, penjaga tempat kramat di sana. Tiba-tiba akal sehatku muncul, setelah mendengar syarat-syarat yang harus kupenuhi dan resiko yang harus kutanggung (menggadaikan iman), jika ingin menjadi pasien Gunung Kawi. Alhamdulillah akidahku –sebagai harta paling bernilai ini-- tak sempat tergadaikan. Bersambung.......

@ Seperti dituturkan Audy Gharnata pada Redaksi Tsaqofah (AA)

Comments :

0 komentar to “Rela Jadi Sawwag Demi Anak Menjadi Sarjana”

Posting Komentar

Majalah Islam Tsaqofah

 

Copyright © 2009 by Majalah Islam Tsaqofah